Bitung, GPdIPedia.com – Sekolah Tinggi Teologi (STT) Rumah Murid Kristus (RMK) Kota Bitung, Sulawesi Utara mengadakan Seminar Nasional yang terbuka untuk umum, Selasa (03/08/2021).
Seminar bertema “Tetap Berbuah di Tengah Pandemi” yang dilakukan secara daring ini dihadiri oleh para peserta dengan latar belakang yang berbeda-beda dari berbagai daerah di Indonesia. Ada akademisi, pimpinan gereja, para pendeta, misionari, aktivis dan jemaat gereja mengikuti acara ini dengan antusias.
Pembahasan mengenai Teologi Pantekosta di lakukan pada sessi 2 dalam acara seminar tersebut dengan narasumber Pdt Dr Elia Tambunan S.Th, M.Pd. Sessi 2 ini mengangkat topik “Teologi Pantekosta di Ruang Publik Pada Pusaran Kontestasi Teologi Mainstream dan Karismatik di Indonesia”.
Dalam materinya, Dr Elia yang adalah dosen di STT Salatiga itu mengemukakan bahwa sejatinya sebuah teologi itu berawal dari sebuah ritus keagamaan yang masih berbasis pada teks yang kemudian menjadi sebuah movement atau gerakan dan akhirnya bertransfigurasi menjadi Social Engagement dalam bentuk teologi praksis sebagai sebuah konstribusi di ruang publik.
Menurut Dr Elia, pandangan-pandangan Pantekosta yang warna atau ciri-cirinya yaitu Mengajarkan & mengalami kepenuhan Roh Kudus dg tanda bahasa roh secara massive harus ditransfigurasi dulu ke bentuk Social Engagement Teology jika ingin diterima oleh masyarakat.
Beliau menyoroti tentang masih banyak pandangan di Aliran Pantekosta khususnya GPdI yang masih dengan konsep apa kata leluhur atau nenek moyang, yang artinya masih tinggal dalam taraf ritus keagamaan atau taraf teks saja. “GPdI sampai hari ini saya bisa menyatakan dan pernyataan ini bertanggung jawab, kita masih berkutat di rites, di ritus, di aktivitas yang sifatnya dibangun oleh teks. Teksnya itu bisa lisan, ‘kata pioneer’, ‘kata pendahulu’, ‘kata opa’, ‘kata oma’, ‘kata Anggaran Dasar’, kita masih ada di situ”, ujar Dr Elia.
Lebih lanjut mengenai studi teks biblika harus menjadi praksis sosial, Dr Elia mencontohkan bagaimana Hinduisme di transfigurasikan menjadi industri pariwisata yaitu ekoturisme dan konservasi keBalian plus keHinduan dalam hal SUBAK, suatu sistem irigasi pertanian tradisional warisan leluhur dikawasan terasering Ubud, Bali.
Antusiasme para peserta seminar terlihat dari banyaknya pertanyaan yang dikemukakan kepada kedua narasumber. Namun karena keterbatasan waktu, hanya beberapa saja pertanyaan yang dapat di bahas. Uniknya ada seorang peserta bernama Alfa Sondakh, seorang mahasiswa semester 5, yang mempertanyakan mengapa Teologi Pantekosta sepertinya dianggap nomor 2 dibanding dengan teologi Protestan yang dijawab oleh Dr Elia dengan mengajukan pertanyaan balik “coba kita jujur dulu deh, yang dimaksud dengan Teologi Pantekosta itu apa sih?”, tanya Dr Elia, founder of Jungle School at Salatiga itu.
Contributor notes:
Pembahasan mengenai Teologi Pantekosta tentu dibutuhkan kerja keras dan pengorbanan dari berbagai pihak. Yang jelas menurut saya adalah Teologi Pantekosta sudah terbentuk walaupun sepertinya belum tersusun secara komprehensif. Jika diteliti lebih lanjut maka dalam beberapa daerah dengan konsentrasi jemaat Pantekosta yang signifikan, sebut saja contohnya yaitu Manado Sulawesi Utara sebagai barometer kekristenan di Indonesia, maka kita akan mendapatkan bahwa Pengajaran Pantekosta telah mewarnai konsep-konsep berpikir dari masyarakat di sana dan kemudian itu telah mempengaruhi budaya bahkan politik pemerintahan di sana. Salah satu contoh adalah hampir hilangnya perjudian di kala duka karena meninggalnya seseorang. Contoh lain adalah terkikisnya praktek ritual pemujaan.
Harapannya adalah biarlah Teologi Pantekosta akan benar-benar eksis di masa depan untuk menjadi sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik dari saat ini.